Tangis

Bisa jadi tangis malam itu merupakan luapan emosiku yang terakumulasi beberapa bulan terakhir. Untuk kembali mengingat bahwa saat itu tangisanku pecah dihadapan puluhan pasang mata awas, dan diakibatkan karena seorang yang baru beberapa menit sebelumnya kukenal, adalah ajaib.

Aku selalu berusaha menyembunyikan seribu satu buah pikir yang membuatku meragukan eksistensi jasadku sendiri. Aku selalu berusaha menyembunyikan pusaran angin topan yang kerap kali bertandang dan memporak-porandakan setiap sudut jaringan rusak yang selalu kucoba perbaiki (walau selalu gagal). Aku, sedang berusaha mencari serpihan jiwaku yang terselip entah di mana.

Aku tak pernah mengerti dari mana buah pikir liar itu datang, atau dari mana angin topan itu berasal serta ke mana kepingan jiwaku pergi.

Aku hanya tahu bahwa aku perlu dengan gagah menampakkan keberanian dan menghadapi mereka, bertahan, dan bertahan tanpa serangan balik, tanpa perlu ambil pusing tentang menang atau kalah juga mencoba untuk melengkapi bagian yang hilang tanpa perlu mencari serpihannya. Dikala mereka bertambah liar, pertahananku hanya sanggup sebesar itu. Dengan jiwaku yang sudah tak utuh, praktis aku runtuh, terjerembab akibat pergulatan batin dan pikiranku sendiri, tanpa ada seorangpun tahu.

Lalu dia datang. Dia dan aku tak pernah tahu bahwasanya kedatangannya merupakan rencana matang Tuhan untuk memulangkan kembali jiwaku yang hilang. Dia bertanya namaku, aku menjawab dengan gestur seolah tahu siapa dia. Seolah.

Lalu dia memulai. Dia berbicara, aku mendengarkan. Mendengarkan dengan cara yang biasa kulakukan, namun ia berbicara dengan cara yang tak biasa kudengarkan.

Caranya memandang, menguliti setiap membran yang sengaja kubuat agar semua isi hati dan kepalaku terbungkus rapi serta tak terlihat. Tapi ia terus mengulitinya. Dibantu dengan untaian pernyataan yang tak dapat satupun kutepis. Menghujam tajam. Menguliti hingga habis tak bersisa.

Saat itulah segala bentuk pertahananku runtuh. Hancur berkeping-keping. Bisa jadi aku memang sudah lelah memalsukan diriku. Sudah bosan membohongi sang jasad atas kepingan palsu jiwa yang kuletakkan di dalamnya.

Seiring dengan itu, aku menangis dengan cara yang tidak biasa. Aku punggungi sang penembus membran.


Aku.

Menangis.

Tanpa kendali.


Akibat seorang yang satu detik sebelum mata kami berpapasan, adalah orang asing yang tak berbeda dari orang asing lainnya.


Aku pergi.


Aku pergi, dia pergi. Aku tidak mengerti, tapi dia mengerti.

Aku menikmati luapan hebat emosiku yang selama ini kuredam, kututupi. Aku menikmati setiap ledakan tersebut. Aku menikmati setiap isaknya.

Aku menikmati tangisku.



Sesaat setelah hujan lebat di mataku pergi, aku mulai menyadari: jiwaku kembali utuh.

Dia, membawanya pulang kembali.

Lalu air mata kembali membanjiriku. Aku kembali menikmati air mataku serta merasakan serpihan-serpihanku yang hilang mendatangiku kembali.

Comments

Post a Comment

Tinggalkan Jejakmu

Popular posts from this blog

Tergelak di Ujung Sajak

Sekarang