Malam itu

malam di mana dirimu yang tampak baik-baik saja bersandar pada bangku sofamu yang amblas, mengistirahakan kaki di atas karpet beludru ditemani secangkir kopi hitam.
kau, yang tampak baik-baik saja, sedang tanpa secara signifikan melakukan sesuatu. kau sesekali menatap jam dindingmu yang bergerak statis, lalu menyeruput kopimu. menyadari bahwa hari ini telah menjadi esok.

tapi kau tak beranjak.
semenit kemudian, dua menit, tiga, lima, 10, 25 menit kemudian kau yang tampak baik-baik saja itu masih tetap di sana, melakukan hal yang sama (kecuali tentang volume air di cangkirmu yang menipis); diam dengan sesekali menatap jam dinding yang tak pernah berputar berlawanan arah.

lalu kau paham satu hal tentangnya. tentang jam dindingmu yang benda mati itu. bahwa ia, selalu, tetap dan akan tetap yakin akan langkahnya. ia berputar, tanpa henti. namun kau tetap tenang.

perlahan tapi pasti. (namun kau tetap tenang)

menusukmu pelan-pelan. (namun kau, tetap tenang)

ia menancap di beberapa organ tubuhmu. namun kau tetap, tetap tenang karena mereka memang tak terasa sakit. hanya saja penuh penyesalan.
penyesalan yang tak biasa, namun tidak juga begitu luar biasa. penyesalan yang pahit dan tak ingin kau ingat-ingat.

maka lagi-lagi kau pura-pura tampak baik-baik saja. dengan berpura-pura tenang dan baik-baik saja, kali ini engkau mengganti posisi kakimu. kesemutan.





Comments

Popular posts from this blog

Tergelak di Ujung Sajak

Sekarang