Rasa


...
...
...
"Kamu benar. 
Nggak semua harus dipikir pakai otak. 
Nggak semua hal harus diketahui sebab-musababnya. Kadang ada hal-hal tertentu yang hanya perlu dirasa.  
Nggak kurang, nggak berlebih. 
Dirasakan: bentuk utuhnya; seluk lekuknya; kehangatannya; prosesnya saat tumbuh, membesar, dan retak..kemudian meledak lewat buncahan dari tiap partikelnya; hingga proses ketika titik-titik itu dengan perlahan melebur jadi lelehan.  

Rasa itu. 
   
Hingga ia akhirnya habis. Lenyap jadi asap—dengan sebagian darinya menyatu menjadikan diri kita yang sekarang." 

Rangkaian kata-katanya meluncur lancar tanpa dibuat-buat. Pandangannya lurus, menerawang. Tak lama kemudian ia kembali fokus dengan secangkir cokelat hangat di tangannya, lalu menyesapkannya dengan penghayatan maksimal. Sejurus kemudian mengalihkan pandangannya kepada lawan bicaranya. Seakan ada yang terlupa.
"Hilang, tanpa kita perlu merasa kehilangan." tambahnya.

Lalu ia tersenyum. Sebetulnya sejak tadi pun ia sudah tersenyum. Senyum yang tersembunyi dibalik pengakuan panjangnya. Yang barusan ini tak lagi ditutup-tutupinya. Ia tersenyum simpul dan asap tipis dari cangkir di sela-sela jarinya menghangatkan raut wajahnya. 

"Perasaan. Terima kasih, perasaan."

Ia memejamkan mata, untuk yang kesekiankalinya, merasa. 


**
Sama-sama.

Comments

  1. Rasaku tidak lenyap, tidak hilang, dan tidak menyatu. Tetapi membeku.
    Bagaimana cara mencairkan rasaku itu kalau perlu melenyapkannya?

    ReplyDelete

Post a Comment

Tinggalkan Jejakmu

Popular posts from this blog

Tergelak di Ujung Sajak

Sekarang