Taxi, Biasanya

(sebuah catatan perasaan dari sebuah perjalanan yang berarti, namun tak akan kau mengerti.)

biasanya di luar langitnya sedang hujan
pukul enam tigapuluhan
biasanya di dalam aku-nya sedang duduk di belakang kanan

biasanya di sampingku ada seorang teman
biasanya kami duduk berdampingan
dalam diam, kelelahan

baru pulang
habis belajar sampai petang
dari tempat di mana sekumpulan orang yang sudah muak datang

(muak akan apa sih? tentu saja keadaan, sih. kenapa sih? karena kami risih.)

tak lama, biasanya salah satu kemudian bicara
bisa aku, bisa dia
bicara apa saja(kebanyakan mengkhayal)

ini, itu, ini, itu. banyak. sampai senang
(karna memang itu,kan, gunanya mengkhayal? biar senang. karna realita belum mampu merubah diri jadi riang.)

biasanya sampai merasa cukup, lalu tertawa-tawa
ternyata belum cukup, lalu menyanyi-nyanyi seperti orang gila

pikiran kami semrawut
awut-awut
seperti.... gumpalan sejumput rambut yang kau pungut
dari lubang air di kamar mandi selepas kau mencuci rambut panjangmu.
iya, yang rontok itu.

begitulah
biasanya sampai yang sedang lebih waras hari itu sadar
dengan beberapa "ssst" "ssst" "ssst" gusar
memberhentikan semua khayalan liar
di muaranya
sampai banyaak dan membludak di sana

namun berhentinya terlambat
maka jalan otak kami keburu tersendat
di satu titik yang mungkin laknat
membuat hal lain jadi seolah bodo amat

***

biasanya, 25 kilometer panjangnya keempat roda taxi berotasi
lalu berhenti

membuat kami melirik pada nominal yang biasanya tidak bohong
membuat kami harus merogoh kantong
yang untungnya tidak bolong
tapi kemudian... 'bolong'



tapi biarlah
toh, sekarang semua bukan masalah

pun pada hari yang akan datang
semoga.

Comments

Popular posts from this blog

Tergelak di Ujung Sajak

Sekarang