Rasa II

memang harus dirasakan dulu untuk tau bagaimana rasanya. setiap rasa bereaksi berbeda terhadap perasanya. ada yang peka, ada yang serba baal. tapi pada dasarnya suatu rasa pasti punya efek default yang akan terjadi pada setiap korbannya.
mungkin sebelum tahu bagaimana rasa sebenarnya, kamu pikir mereka mengada-ada. bereaksi cepat lewat untaian kata demi kata, meledak-ledak bahagia, atau bersedih hati seakan hari esok cuma wacana.
mungkin sebelum tahu bagaimana rasa sebenarnya, kamu pikir mereka cuma sekelompok orang yang bereaksi berlebihan pada sebuah perkara dunia. mungkin sebelum tahu bagaimana rasa sebenarnya, kamu pikir senang itu berbatas, kecewa itu berbatas, bahagia itu berbatas, kesal, sedih, puas, cemburu— semua emosi— kamu pikir semua emosi punya batas jelas dan tak akan ada makhluk tuhan yang mungkin melewati garis batasannya, kecuali golongan mereka yang mengada-ada.
***
kemudian pengalaman mulai mengajarimu mengeja rasa, tidak dengan panca indera yang memang nyata, tapi perlahan lewat hatimu yang dibolak-balikan olehnya. tidak dengan sekadar tahu karena kamu menganggap dirimu cukup punya banyak referensi perspektif berbeda, tapi secara nyata dengan memahami dan terjun ke tempat kejadian perkara. dan menjadi pemeran utama; mungkin sebagai puteri yang punya kisah akhir bahagia, atau yang lain— sebagai yang bukan puteri, dan yang punya kisah akhir tidak bahagia.
harus dirasakan dulu untuk tahu bagaimana rasanya. ketika peran utama sudah kausabet di pundakmu, dan alam semesta sudah mulai menjalankan isi dari skenarionya, tempatmu sekarang berdiri adalah akhir dari kisah itu, kisah yang senantiasa berekspansi, sampai titik dimana kau menginginkan segalanya berhenti. sampai kau sudah bisa mengenali bahwa kaulah tuhan dari peran yang kaulakoni. sampai kau berani untuk sejenak berhenti, dan kembali berpikir dengan akal yang paling sehat, kembali mempertanyakan alasan, kembali menginginkan jawaban, kembali mempertimbangkan apa yang disebut “kebutuhan” dan apa yang disebut “keinginan”, kembali bisa menghakimi diri sendiri, berhenti memanjakan rasa, yang memang tak pernah ada habisnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Tergelak di Ujung Sajak

Sekarang