Saat pengeras suara mushola bersahutan, menggemakan nyanyian bernama takbir, pukul 1 dini hari.

Pikiranmu terjaga di malam bising penuh suara. Alih-alih mengumpat meronta, dirimu memejam mata-merasakan aliran syukur yg memenuhi rongga dada. 

Badan barumu sedang Ia persiapkan, ini playlist terbaik-Nya yang sedang dunia putar. Satu lagu yang tak pernah habis dimainkan. Niscaya, esok kau terlahir kembali. Menjadi apa entah-semua adalah bukan semata apa yang Ia berikan, namun apa yang engkau telah persembahkan.
Aku harap apa pun esok kita, kita senang, karena menurut legenda, esok kita semua menang. Aku harap Ia memberi kita semua tenang. Esok? Hari ini? Apalah arti panggilanku untuk waktu ...... 
kau dan aku mengerti, karena kita sedang berpijak di tanah pertiwi dengan perasaan ingin sekali fitri yang serupa, kan? Dan karena momen ini juga, kan, kita jadi ingat kembali hal bernama maaf dengan segala imbuhan yang menghimpitnya.
Selama ini kausimpan di mana caramu agar 'dimaafkan'? Kauselipkan di mana kemampuan hebatmu bernama 'memaafkan'?
Lagi, kau lupa. Lagi, kita lupa. Tapi berkat esok hari, kita berjamaah kembali mengingatnya, mengetahui urgensi bertukar maaf dengan menginginkannya dalam jumlah besar, serta mengobralnya dalam balutan instan teknologi. Hebat? Entahlah. Aku harap maaf kita tidak sebatas pentuk tuts yang kita tekan saja. Aku harap maaf kita lebih dari sekadar untaian kata berima. Aku harap kau serius dengan kata maafmu, aku harap aku serius dengan "sama-sama" sederhana-ku. Aku harap kita cukup dewasa, karena aku barusan mendengar pikiranku berkata: "Forgive but not forget? Ke laut aja!"

***
Lubang Buaya,1 Syawal 1434 H, 8 Agustus 2013, 1:58,
ketika terbersit sebaris tanya di kepala; Tuhan kan Maha Memaafkan, sementara manusia tidak, lantas bagaimana caranya kita supaya bisa?

Comments

Popular posts from this blog

Tergelak di Ujung Sajak

Sekarang